Abstract
Transcendental Thomism aimed at bridging the gap that separated the thought of Aquinas from the Kantian idealism that dominated Continental philosophy. For Transcendental Thomism, Aquinas’s thought could complete the ‘transcendental turn to the subject’ initiated by Kant. A ‘critique of knowledge’ undertaken as laying bare ‘the conditions of possibility of knowledge,’ reveals the forms and categories of human knowledge, but not the possibilities of objective knowledge. Such objective knowledge would be possible only on the basis of intellectual intuition, and since he discerned no such intuition, Kant discounted the objectivity of human knowledge. Transcendental Thomism maintained that Kant became an idealist because he was not consistent in his own transcendental reflection on the a priori condition of human knowledge. Knowing is an operation, a movement, a tendency toward an end. It insisted that a critique of knowledge revealed the objective dynamism of human knowledge, culminating in objective judgments of existence. In other words, authentic subjectivity leads to objectivity.
Transcendental Thomism aimed at bridging the gap that separated the thought of Aquinas from the Kantian idealism that dominated Continental philosophy. For Transcendental Thomism, Aquinas’s thought could complete the ‘transcendental turn to the subject’ initiated by Kant. A ‘critique of knowledge’ undertaken as laying bare ‘the conditions of possibility of knowledge,’ reveals the forms and categories of human knowledge, but not the possibilities of objective knowledge. Such objective knowledge would be possible only on the basis of intellectual intuition, and since he discerned no such intuition, Kant discounted the objectivity of human knowledge. Transcendental Thomism maintained that Kant became an idealist because he was not consistent in his own transcendental reflection on the a priori condition of human knowledge. Knowing is an operation, a movement, a tendency toward an end. It insisted that a critique of knowledge revealed the objective dynamism of human knowledge, culminating in objective judgments of existence. In other words, authentic subjectivity leads to objectivity.
Key words: bridging the gap, transcendental turn to subject, a priori condition of human knowledge, a movement toward an end.
Pendahuan
Tema yang sengaja kami angkat dalam artikel ini bermaksud membahasakan titik perjumpaan antara dua pemikir besar dalam sejarah pemikiran filsafat-teologi Kristen di mana keduanya masing-masing dapat disebut sebagai ikon pada zamannya: Aquinas bagi Abad Pertengahan dan Kant bagi Abad Pencerahan. Tema ini agak kontrovesial justru karena meletakan secara bersamaan dan berupaya menjembatani dua tokoh yang oleh sebagian orang berpendapat bahwa usaha semacam itu tidak mungkin. Sementara itu sebagian lainnya setuju dan mencari jalan untuk menemukan titik jumpa itu.1 Kami akan memusatkan perhatian pada kelompok kedua dan memperlihatkan bagaimana usaha mereka.
Semenjak Kant memutar haluan filsafat dengan fokus yang tidak lagi mengarah kepada obyek melainkan kepada subyek sadar, pelbagai arus pemikiran mencari kanal yang cocok dengan aliran itu untuk menyuburkan gagasan-gagasan baru. Dalam kata pengantar untuk edisi kedua dari adi-karyanya, kritik der reinen vernunft, ia mengemukakan bahwa metode lama telah gagal menelaah realitas. Lantas, dalam metode baru yang ia sodorkan, di mana subyek menempati posisi sentral dan memiliki pengetahuan akan obyek secara a priori, Kant melihat metode filsafatnya sehaluan dengan garis hipotesa utama Kopernikus (mit den ersten Gedanken des Kopernikus)2.
Semenjak Kant memutar haluan filsafat dengan fokus yang tidak lagi mengarah kepada obyek melainkan kepada subyek sadar, pelbagai arus pemikiran mencari kanal yang cocok dengan aliran itu untuk menyuburkan gagasan-gagasan baru. Dalam kata pengantar untuk edisi kedua dari adi-karyanya, kritik der reinen vernunft, ia mengemukakan bahwa metode lama telah gagal menelaah realitas. Lantas, dalam metode baru yang ia sodorkan, di mana subyek menempati posisi sentral dan memiliki pengetahuan akan obyek secara a priori, Kant melihat metode filsafatnya sehaluan dengan garis hipotesa utama Kopernikus (mit den ersten Gedanken des Kopernikus)2.
Para ‘murid’ Aquinas yang seolah-olah mendapat lahan subur dari Ensiklik Paus Leo XIII, Aeternis Patris,3 berpikir kreatif untuk mencoba membaca ajaran ‘guru’ mereka dalam gagasan-gagasan yang sedang mendominasi alam pemikiran modern.4 Mereka berupaya menjembatani Aquinas dan Kant guna menemukan titik sambung yang kemudian disebut dengan Thomisme Transendental. Kami akan mengulasnya dalam isi dari tulisan ini.
I.Thomisme Transendental: Perjumpaan antara Idealisme Kant dan Realisme Aquinas
1. Kejatuhan dan Kebangkitan Thomisme.
Gagasan-gagasan Aquinas yang sangat terpandang dalam sejarah pemikiran Kristen itu sesungguhnya tidak pernah merupakan suatu perjalanan yang bebas hambatan. Sejak kematiannya yang mendadak di biara Cistersian di Fossanova tahun 1274 dalam perjalanan ke Lyon mengikuti Konsili, Aquinas sudah mulai mendapat serangan yang hebat baik dari luar maupun dari dalam Ordonya sendiri.5 Pemikiran Aquinas sanggup bertahan kemudian menghilang lagi lalu muncul kembali pada bentangan waktu yang lainnya. Secara umum dapat digambarkan fluktuasi pamor pemikiran Aquinas sejak kematiannya sebagai berikut: pamor Aquinas menghilang ketika pada awal abad ke-14 banyak Dominikan yang membelot dari otoritas Aquinas dan mencari otoritas lain. Derandus dari St. Pourçain, seorang teolog Dominikan yang kemudian menjadi uskup, misalnya, bertindak sebagai promotor utama bagi nominalisme Ockham. Pada abad ke-14 dan ke-15, banyak Dominikan menempatkan interese yang lebih besar kepada Albertus Magnus ketimbang kepada Aquinas sendiri. Ditambah lagi dengan pada akhir dari abad pertengahan di mana muncul reaksi-reaksi keras terhadap teologi skolastik yang ketika itu Thomisme dan Scotisisme menjadi mainstream-nya. Reaksi itu datang dari sikap anti-intelektulisme yang bisa ditemukan di dalam Imitatio Christi dari kesalehan kaum anti-intelektualis kelompok “Persaudaraan Hidup Bersama”. Di sisi lain reaksi keras datang dari kaum humanis seperti Thomas More (1478-1535) dan Erasmus (1469-1536), terhadap teologi yang diajarkan di sekolah-sekolah saat itu. Situasi ini dengan sendirinya menenggelamkan sintesa filosofis dan teologis Aquinas.6
Periode gemilang Thomisme bangkit lagi pada abad ke-16, terutama dalam suatu periode inovasi yang paling radikal sebelum Konsil Terente.7 Tokoh utama dalam gerakan ini adalah Peter Crockaert (1556) seorang Dominikan di Paris. Ia memimpin gerakan kebangkitan Thomisme yang tidak hanya mempengaruhi para Dominikan di Prancis, Spanyol dan Italia, tetapi juga mempengaruhi para Jesuit melalui Iganisius dari Loyola.8 Pada sekolah yang dipimpinnya, Crockaert menggantikan Sententiae dari Petrus Lombardus, yang merupakan buku standar studi sejak abad ke-13, dengan Summa Theologiae Aquinas. Pada periode ini Serikat Jesus memberikan dedikasi yang luar biasa pada pemikiran Aquinas. Dari mereka lahirlah salah seorang pemikir yang menjadi amat terkenal, yakni Francisco Suárez (1548-1617). Dalam membangun filsafat dan teologinya sendiri Suárez mengakui Aquinas sebagai gurunya.9 Kejayaan Thomisme di zaman ini akhirnya mesti bertekuk lutut manakala, pada kira-kira dua dekade sesudahnya, badai kencang era Pencerahan mengibarkan tinggi-tinggi panji sekularisme dan keberingasan revolusi Prancis secara praktis menyingkirkan Aquinas.
Walaupun demikian, ternyata Aquinas tidak bisa disingkirkan begitu saja. Giacchino Pecci, yang pada Februari 1878 menjadi Paus dengan nama Leo XIII, merupakan sosok yang kuat dalam kebangkitan kembali Thomisme di abad ke-19. Sebelum menjadi Paus, dia, yang pada waktu itu merupakan Uskup Agung Perugia, telah berjuang keras untuk membangun kembali pemikiran “Doctor Angelicus” itu – apa yang secara tegas dan jelas segera dibuatnya ketika melanjutkan otoritas Petrus Rasul yakni dengan mengeluarkan Ensikliknya pertamanya, Aeternis Patris. Semenjak Ensiklik ini dan dibentuknya Komisi Leonine yang menjadi instrumentum laboris bagi Ensiklik itu, muncullah apa yang disebut dengan zaman neo-skolastisme, yang sebagai suatu istilah umum dapat diterapkan kepada Suárezianisme, Thomisme dan Scotisisme. Sambil Komisi Leonine mengerjakan suatu edisi kritis mengenai karya-karya Aquinas, satu tim Fransiskan yang berkedudukan di Quarrachi dekat Firenze pun mulai mengerjakan suatu edisi definitif mengenai karya-karya Bonaventura.10 Dukungan Paus terhadap pemajuan Thomisme pada akhirnya melahirkan neo-Thomisme di abad ke-20 yang secara jelas memisahkan diri dari pelbagai bentuk neo-skolastisisme; dan di dalam evolusinya sendiri neo-Thomisme lahir dalam pelbagi bentuk yang khas. Salah satu bentuknya adalah yang menjadi fokus kita kali ini, yakni Thomisme Transendental.
2. Pertemuan Aquinas dan Kant di Louvain: Dialog Maréchal dan Kant.
Joseph Maréchal adalah nama yang tidak bisa diabaikan dalam pembicaraan mengenai Thomisme Transendental justru karena dari permenungannyalah aliran ini lahir. Maréchal adalah seorang profesor psikologi rasional dan eksperimental pada Kolese Teologi dan Filsafat milik Jesuit di Louvain dan juga memberi kuliah sejarah filsafat modern, biologi dan fisiologi manusia, logika dan metafisika umum. Sebelum mengajar filsafat, ia belajar biologi di universitas Louvain sebagai persiapan untuk melakukan riset di bidang psikologi yang kemudian dituangkannya di dalam karyanya mengenai telaah atas psikologi mistik, Études sur la psychology des mystiques. Karya lainnya yang terkenal adalah traktat filosofisnya, Le Point de Départ de la Métaphysique. Tiga bab pertama dan bab yang ke-5 dari karya ini mengartikulaskan garis epistemologi seorang Thomis dari latar belakang idealisme Kantian.11
1 Kelompok pertama diwakili oleh Étienne Gilson yang bersuara paling keras menentang ide pertemuan Aquinas-Kant. Sedangkan kelompok kedua diwakili oleh Joseph Maréchal, yang dianggap sebagai peletak dasar Thomisme Transendental. Terhadap kelompok kedua ini, salah satu kritik diajukan oleh Robert J. Hanle, SJ bahwa Thomisme Transendental bukanlah Thomisme. Namun demikian Hanle segera memberi catatan bahwa Maréchal tidak bermaksud menggantikan pendekatan Aquinas tetapi hanya mau melengkapi apa yang dikerjakan oleh Aquinas. Lih. Robert J. Hanle, SJ, “Transcendental Thomism: A Critical Assessment” di dalam One Hundred Years of Thomism, Houston, Texas: Center for Thomistic Studies, 1981, hal.92-93
2 Lih. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Norman Kemp Smith) Palgrave Macmillan, New York, 2003. hal.22. Nikolaus Kopernikus adalah penggagas ide revolusioner tentang tata jagat yang menempatkan matahari sebagai pusat (heliosentris) sebagai pengganti faham lama bahwa bumi merupakan pusat (geosentris) jagat.
3 Ensiklik yang dikeluarkan pada tahun 1879 ini - yang merupakan tahun kedua dari masa pontifikal Bapa Suci itu - mendorong Gereja Katolik untuk menemukan prinsip-prinsip iman di dalam ajaran santo Thomas Aquinas. Lihat Ensiklik ini pada St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, vol.1, Christian Classic, Ave Maria Press, Notre Dame, Indiana, USA, 1981, hal.ix-xviii (Edisi berbahasa Inggris yang diterjemahkan dari naskah Latin oleh para imam Dominikan dari Provinsi berbahasa Inggris).
4 Aksioma dari Paus Leo XIII: Vetera Novis Augere et Perficere: ‘mengerjakan dan menyempurnakan yang lama dengan yang baru’, menjadi semacam roh pengerak yang kuat.
5 Dari pihak luar, yakni dari kaum klerus sekular dan para Fransiskan. Secara institutional kedua ordo Mendikan itu, Fransiskan dan Dominikan, saling berselisih faham karena melakukan pendekatan terhadap ajaran iman dengan mengikuti jalur tradisi pemikiran yang berbeda. Fransiskan, dengan ikon Alexander dari Hales dan muridnya Bonaventura bersandar pada tradisi neo-Platonisme dan Agustinus; sementara itu Dominikan, dengan ikon Albertus Magnus dan muridnya Aquinas bersandar pada pemikiran Aristoteles. Dari dalam Ordo Dominikan sendiri muncul penentang Aquinas seperti uskup agung Canterbury, Robert Kilwardby. Kilwardby kemudian digantikan oleh seorang Fransiskan, Yohanes Pecham, yang juga merupakan penentang Aquinas. (Bdk. Jean-Pierre Torrel, O.P., Saint Thomas. The Person and His Work, The Catholic University of America Press, Washington, D.C., 2005, hal. 303-308; baca juga Frederick B. Artz, The Mind of the Middle Ages, The Universty of Chicago Press, Chicago, 1980, hal. 261-264)
6 Lih. Gerald McCool, The Neo-Thomists, Marquette University Press, 2003. hal.24
7 Konon, pemikiran St. Thomas Aquinas menjadi begitu penting pada masa ini sehingga ketika Konsili Terente berlangsung, Summa Theologiae Aquinas ditempatkan dalam posisi terbuka dan berdampingan dengan Kiab Suci di meja altar (lih. Ensiklik Aeternis Patris, alinea ke-42).
8 Ignasius dari Loyola belajar teologi di Paris pada biara sekaligus rumah studi Dominikan, St. Jacques. Dalam Konstitusinya Ignasius mengatakan bahwa Aristotles diikuti karena otoritasnya di dalam bidang filsafat dan Aquinas diikuti karena otoritasnya di dalam bidang teologi (Lht. Carolo Giacon, SJ, La Seconda Scholastica, vol.1, Milano, 1946, hal.25-30)
9 Gerald McCool, Op.Cit. hal.25-26
10 Ibid. hal.45
11 Lih. Kata Pengantar dalam terjemahan berbahasa Inggris oleh Algar Thorold pada Joseph Maréchal, Studies in the Psychology of the Mystics, Benzinger Brothers, New York, 1927, hal.v
No comments:
Post a Comment