Tuesday, 17 October 2017

Bernard Lonergan, Kebudayaan dan Revitalisasi Thomisme


Pendahuluan 

Dalam paper yang diberikan sebagai bahan seminar pada pertemuan Asosiasi Teolog Katolik Indonesia, Rm. Bagus SJ, menyinggung Bernard Lonergan dalam kaitan dengan  upaya menghidupkan kembali Thomisme, setelah pertarungan yang hebat dengan nouvelle théologie yang berdampak pada terdepaknya Thomisme dari dominasi wacana teologis, terutama sesudah Konsili Vatikan II. Namun demikian, sebagaimana dalam paper itu disebutkan, “Vatikan II tidaklah mengirimkan teologi neo-skolastisisme yang dianggap ketinggalan zaman itu ke kuburan, melainkan justru membuka dan menyegarkan sistem itu”.1 
       Lonergan merupakan seorang pemikir terpandang yang memberi ‘ruang baru’ bagi penyegaran dan pertumbuhan itu, terutama sesudah Konsili Vatikan II. Walaupun bukan sebagai seorang peritus dalam  konsili, namun pemikiran Lonergan sejalan dengan roh yang dihembuskan oleh Vatikan II seraya tetap menjadikan Aquinas sebagai horizon pemikirannya. Tulisan yang amat singkat ini lebih merupakan suatu ‘catatan kaki’ pada upaya Lonergan memberikan sumbangan bagi pembaharuan teologi dalam semangat Konsili Vatikan II.

Teologi dan Kebudayaan

Salah satu kelemahan pokok yang selalu menjadi sasaran tembak dan peremehan terhadap Thomisme oleh para pemikir ‘modern’ terutama dalam debat teologis2 pra Konsili Vatikan II adalah bahwa sejarah tidak mendapat tempat dalam bangunan teologis para Thomis; dan kalau sejarah tidak mendapat tempat, maka kebudayaan dengan sendirinya terabaikan; padahal dimensi tersebut amat konstitutif bagi manusia. Para bapa Konsili Vatikan II tampaknya mengubris pokok tersebut dan memperlihatkan minat yang besar dalam pengembangannya, meskipun harus diakui bahwa pokok tersebut hanya dibicarakan secara parsial dalam dokumen-dokumen konsili.3
Bernard Lonergan berupaya untuk memperlihatkan bahwa posisi Aquinas masih tetap penting sebagai referensi dalam berteologi termasuk dalam semangat aggionarmento Vatikan II. Sebagai pemikir pada zamannya, Aquinas melakukan “pengkinian” itu manakala Kekristenan Barat sedang dibanjiri oleh gagasan-gagasan Hellenis dan Arabik. Dalam hal ini Aquinas bukan saja melakukan sintesis teologis atau filosofis tetapi juga memberikan sumbangan yang amat besar bagi sitensis kebudayaan medieval; dan upaya tersebut bukan tanpa rintangan.4 Hal serupa tepat seperti yang dikerjakan dalam Konsili Vatikan II. Dalam hal ini Aquinas tentu tidak mengabaikan sejarah dan kebudayaan, meskipun hanya dibicarakan secara implisit dan kabur. Dia tentu memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemahaman modern mengenai gerakan kebudayaan, mengenai genesis dari metode-metode serta disiplin-displin kognitif yang kita alami dalam kebudayaan modern atau kontemporer ini. Lonergan berupaya untuk memperlihatkan hal tersebut dengan merujuk, misalnya, kepada Summa Contra Gentiles bahwasanya “insight” dan penilaian manusia, bahkan di dalam metafisika, tentu mempunyai rujukan temporal.5 
Sejak permulaan karir akademiknya Lonergan memang sudah mulai mengartikulasikan pemikiran Aquinas secara amat brilian dalam karya-karyanya terutama dalam Verbum yang terus dikembangan dalam karya monumentalnya, Insight. Dalam tulisan-tulisannya sesudah konsili Vatikan II, Lonergan terus memperlihatkan sumbangsih Aquinas bagi iman dan pemikiran Kristiani. Misalnya, dalam Method in Theology, “The Future of Thomism”,6 “Aquinas Today: Tradition and Innovation”7, “Fundamental Theology”,8 dan “The Scope of Renewal”9 Lonergan menegaskan bahwa Aquinas adalah teolog bagi penerusan tradisi melebihi teolog-teolog yang lain, yang pendekatan teologis dan filosofisnya harus diperhitungkan dalam berteologi selanjutnya. Terutama, dalam “The Future of Thomism”, Lonergan merekomendasikan 5 poin heuristik demi keberlangsungan Thomisme, serentak sebagai kritik terhadap apa yang dia sebut sebagai Thomisme Klasik, yang penafsirannya terhadap Aquinas menimbulkan persoalan modern: (1) peralihan dari pendekatan dengan logika kepada pendekatan dengan metode; (2) peralihan dari konsep sains Aristotelian (Posterior Analytics) kepada konsep modern mengenai sains; (3) peralihan dari pendekatan metafisika mengenai jiwa kepada introspeksi psikologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai subyek; (4) peralihan dari pergumulan akan kodart manusia kepada pergumulan akan sejarah manusia; (5) peralihan dari penekanan terhadap prinsip-prinsip utama kepada metode transendental.
Pemahaman Lonergan mengenai hubungan antara teologi dan kebudayaan dapat dijumpai dalam beberapa karyanya, terutama paling jelas dalam Method in Theology di mana kebudayaan, yang difahaminya dengan pendekatan empiris, terdefinsi sebagai seperangkat nilai dan makna yang membentuk suatu cara hidup. Di atas pemahaman seperti itulah, teologi dibangun sebagai suatu jembatan yang menghubungkan suatu matriks kebudyaan dengan peran dan makna suatu agama dalam matriks tersebut. Pemahaman seperti itu tentu kontra dengan pemahaman normatif dari kaum klasikis. Dalam pemahaman klasikis, hanya ada satu kebudayaan yang bersifat universal dan permanen dan dengan demikian teologi pun difahami sebagai suatu khasanah permanen dengan orientasi utama pada hakekatnya. Sebaliknya dalam pendekatan empiris, teologi dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan dengan orientasi utama pada upaya membangun metode.11 Metode inilah merupakan hal yang amat penting dalam berteologi.
Dengan pemahaman seperti di atas, Lonergan hendak memperlihatkan bahwa teologi harus tertancap di dalam konteks sejarah dan kebudayaan setempat. Hal itu berarti bahwa para teolog atau pewarta harus memiliki horizon yang luas seraya mengakrabkan pemahamannya terhadap bahasa dan kebudayaan setempat,12 terhadap kompleksitas pergumulan sosial, ekonomi dan politik, yang memang khas dan berbeda pada setiap tempat dan waktu, sehingga pesan Injil dapat sampai dan menjadi milik orang-orang setempat.

Penutup

Bernard Lonergan berupaya untuk memperlihatkan bahwa sejarah dan kebudayaan amat penting dalam berteologi. Hal itu pula yang menjadi perhatian dari seorang teolog sekaliber Thomas Aquinas. Oleh karena itu peremehan terhadap Aquinas karena dianggap mengabaikan sejarah, sesungguhnya tidak benar. Teologi memang harus memperhitungkan segala dinamika historis dan kultural agar tidak menjadi ‘tamu abadi di tempat yang didiaminya’.



1 A. Bagus Laksana, S.J.,  “Teologi Dalam Jaringan, Sketsa Teologi (Katolik) Pasca-Vatikan II”,  Makalah yang dipresentasikan dalam Asosiasi Teolog Indonesia di Wisma Syantikara, Yogyakarta, 18 Oktober 2013, hal.3. Sebutan neo-Skolastisme itu dapat mencakup Thomisme, Scotisisme dan Suarezianisme.
2 Perdebatan tersebut dapat dipandang sebagai evolusi internal Thomisme, yakni perdebatan  antara para Thomis yang terbagi dalam dua kelompok: kelompok pertama, dihidupi oleh para pemikir Nouvelle Theologie yang memberikan penekanan pada dimensi historis dengan melakukan ad fontes pada pemikiran patristik dan biblis. Kelompok berikutnya adalah para pemikir Anglo-Amerika yang berupaya mengembangan pemikiran Aquinas dengan mengadopsi metode analitis British abad XX yang cenderung mengabaikan dimensi historis. Tracy Rowland mengulas hal tersebut secara lebih komprehensif dalam Culture and the Thomist Tradition, After Vatican II, Routledge, London and New York, 2003. Lonergan tidak termasuk dalam kedua kategori itu, meskipun dalam arti tertentu yang dapat diperdebatkan, dia disebut sebagai seorang Thomis dengan kategori baru yakni Thomis Trensendental. 

3 Misalnya, gaudium et spes yang secara keseluruhan peduli dengan topik mengenai kebudayaan namun penuh kompromi; dalam gravissimum educationis ( 6 dan 8) di mana pendidikan dipandang sebagai suatu bentuk pemajuan budaya; dalam ad gentes (15, 16, 21 dan 26) diberi nasehat bahwa orang-orang yang dipersipkan untuk tugas misioner harus sanggup belajar dari budaya setempat dan bahwa orang-orang katolik harus dapat bekerjasama dengan orang-orang non-katolik dalam proyek-proyek kebudayaan; dignitatis humanae (15) memperlihatkan kenyataan sosiologis bahwa orang-orang dari latar belakang kebudyaan yang berbeda, kini hidup berdampingan secara geografis; perfectae caristatis (3) berbicara mengenai pengadaptasian cara hidup, doa dan karya dengan kebudayaan setempat serta pendidikan kaum religius seturut perkembangan zaman (8). Lih. Tracy Rowland, Op.Cit., hal. 172
4Semasa hidupnya Aquinas sudah terlibat dalam pusaran perdebatan yang memperlihatkan pendiriannya. J-P. Torrell, OP., membahas hal ini secara detail dalam karya seminalnya, Saint Thomas Aquinas , vol. 1., The Person and His Works, The Catholic Univesity of America Press, Washington, D.C. 2005, terutama pada bab 5 dan bab 10. Bdk. Bab 2 dan bab 8 pada J.A. Weishaple O.P., Friar Thomas D’Aquino, His Life, Thought & Works, The Catholic Univesity Press, Washington D.C., 1983. Pada masa sesudah kematiannya perdebatan itu terus berlanjut. Lih. J.A. Weisheipl O.P. Ibid. hal.331-350.
5 Lonergan, Verbum: Word and Idea in Aquinas, University of Toronto Press, Toronto, 2005, hal. 68
6 Lonergan, Second Collection, The Westminster Press, Philadelphia, 1974, hal. 43-53
7 Lonergan, Third Collection, Paulist Press, New York, 1985, hal.34-54
8 Kuliah yang diberikan oleh Lonergan pada Trinity College, University of Toronto, pada tanggal 13 November 1973 ini muat dalam Method: Journal  of Lonergan Studies 16 (1)., 1998, hal. 5-24
9 Kuliah yang diberikan oleh Lonergan pada Trinity College, University of Toronto, pada tanggal 15 November 1973 ini muat dalam Method: Journal  of Lonergan Studies 16 (2)., 1998, hal. 83-101
11 Bernard Lonergan, Method in Theology, Herder and Herder, New York, 1972,  hal. xi
12 Ibid.363

No comments:

Post a Comment

SKANDAL SALIB

SKANDAL SALIB  Bagaimana Salib  Mengusik para Pemikir Uji lakmus merupakan sebuah indikator yang amat sederhana dalam memperlihatk...