Pendahuluan
Dalam
paper yang diberikan sebagai bahan seminar pada pertemuan Asosiasi Teolog Katolik
Indonesia, Rm. Bagus SJ, menyinggung Bernard Lonergan dalam kaitan
dengan upaya menghidupkan kembali Thomisme, setelah pertarungan yang
hebat dengan nouvelle théologie yang
berdampak pada terdepaknya Thomisme dari dominasi wacana teologis,
terutama sesudah Konsili Vatikan II. Namun demikian, sebagaimana dalam
paper itu disebutkan, “Vatikan II tidaklah mengirimkan teologi
neo-skolastisisme yang dianggap ketinggalan zaman itu ke kuburan,
melainkan justru membuka dan menyegarkan sistem itu”.1
Lonergan merupakan seorang pemikir terpandang yang memberi ‘ruang baru’ bagi penyegaran dan pertumbuhan itu, terutama sesudah Konsili Vatikan II. Walaupun bukan sebagai seorang peritus dalam konsili, namun pemikiran Lonergan sejalan dengan roh yang dihembuskan oleh Vatikan II seraya tetap menjadikan Aquinas sebagai horizon pemikirannya. Tulisan yang amat singkat ini lebih merupakan suatu ‘catatan kaki’ pada upaya Lonergan memberikan sumbangan bagi pembaharuan teologi dalam semangat Konsili Vatikan II.
Lonergan merupakan seorang pemikir terpandang yang memberi ‘ruang baru’ bagi penyegaran dan pertumbuhan itu, terutama sesudah Konsili Vatikan II. Walaupun bukan sebagai seorang peritus dalam konsili, namun pemikiran Lonergan sejalan dengan roh yang dihembuskan oleh Vatikan II seraya tetap menjadikan Aquinas sebagai horizon pemikirannya. Tulisan yang amat singkat ini lebih merupakan suatu ‘catatan kaki’ pada upaya Lonergan memberikan sumbangan bagi pembaharuan teologi dalam semangat Konsili Vatikan II.
Teologi dan Kebudayaan
Salah
satu kelemahan pokok yang selalu menjadi sasaran tembak dan peremehan
terhadap Thomisme oleh para pemikir ‘modern’ terutama dalam debat
teologis2 pra
Konsili Vatikan II adalah bahwa sejarah tidak mendapat tempat dalam
bangunan teologis para Thomis; dan kalau sejarah tidak mendapat tempat,
maka kebudayaan dengan sendirinya terabaikan; padahal dimensi tersebut
amat konstitutif bagi manusia. Para bapa Konsili Vatikan II tampaknya
mengubris pokok tersebut dan memperlihatkan minat yang besar dalam
pengembangannya, meskipun harus diakui bahwa pokok tersebut hanya
dibicarakan secara parsial dalam dokumen-dokumen konsili.3
Bernard
Lonergan berupaya untuk memperlihatkan bahwa posisi Aquinas masih tetap
penting sebagai referensi dalam berteologi termasuk dalam semangat aggionarmento Vatikan
II. Sebagai pemikir pada zamannya, Aquinas melakukan “pengkinian” itu
manakala Kekristenan Barat sedang dibanjiri oleh gagasan-gagasan
Hellenis dan Arabik. Dalam hal ini Aquinas bukan saja melakukan sintesis
teologis atau filosofis tetapi juga memberikan sumbangan yang amat
besar bagi sitensis kebudayaan medieval; dan upaya tersebut bukan tanpa
rintangan.4 Hal
serupa tepat seperti yang dikerjakan dalam Konsili Vatikan II. Dalam
hal ini Aquinas tentu tidak mengabaikan sejarah dan kebudayaan, meskipun
hanya dibicarakan secara implisit dan kabur. Dia tentu memiliki
pemahaman yang berbeda dengan pemahaman modern mengenai gerakan
kebudayaan, mengenai genesis dari metode-metode serta disiplin-displin
kognitif yang kita alami dalam kebudayaan modern atau kontemporer ini.
Lonergan berupaya untuk memperlihatkan hal tersebut dengan merujuk,
misalnya, kepada Summa Contra Gentiles bahwasanya “insight” dan penilaian manusia, bahkan di dalam metafisika, tentu mempunyai rujukan temporal.5
Sejak
permulaan karir akademiknya Lonergan memang sudah mulai
mengartikulasikan pemikiran Aquinas secara amat brilian dalam
karya-karyanya terutama dalam Verbum yang terus dikembangan dalam karya monumentalnya, Insight.
Dalam tulisan-tulisannya sesudah konsili Vatikan II, Lonergan terus
memperlihatkan sumbangsih Aquinas bagi iman dan pemikiran Kristiani.
Misalnya, dalam Method in Theology, “The Future of Thomism”,6 “Aquinas Today: Tradition and Innovation”7, “Fundamental Theology”,8 dan “The Scope of Renewal”9 Lonergan
menegaskan bahwa Aquinas adalah teolog bagi penerusan tradisi melebihi
teolog-teolog yang lain, yang pendekatan teologis dan filosofisnya harus
diperhitungkan dalam berteologi selanjutnya. Terutama, dalam “The
Future of Thomism”, Lonergan merekomendasikan 5 poin heuristik demi
keberlangsungan Thomisme, serentak sebagai kritik terhadap apa yang dia
sebut sebagai Thomisme Klasik, yang penafsirannya terhadap Aquinas
menimbulkan persoalan modern: (1) peralihan dari pendekatan dengan
logika kepada pendekatan dengan metode; (2) peralihan dari konsep sains
Aristotelian (Posterior Analytics)
kepada konsep modern mengenai sains; (3) peralihan dari pendekatan
metafisika mengenai jiwa kepada introspeksi psikologis untuk memperoleh
pengetahuan mengenai subyek; (4) peralihan dari pergumulan akan kodart
manusia kepada pergumulan akan sejarah manusia; (5) peralihan dari
penekanan terhadap prinsip-prinsip utama kepada metode transendental.
Pemahaman
Lonergan mengenai hubungan antara teologi dan kebudayaan dapat dijumpai
dalam beberapa karyanya, terutama paling jelas dalam Method in Theology di mana kebudayaan, yang difahaminya dengan pendekatan empiris, terdefinsi sebagai seperangkat nilai dan makna yang membentuk suatu cara hidup. Di atas pemahaman seperti itulah, teologi dibangun sebagai suatu jembatan yang menghubungkan suatu matriks kebudyaan dengan peran dan makna suatu agama dalam matriks tersebut. Pemahaman
seperti itu tentu kontra dengan pemahaman normatif dari kaum klasikis.
Dalam pemahaman klasikis, hanya ada satu kebudayaan yang bersifat
universal dan permanen dan dengan demikian teologi pun difahami sebagai
suatu khasanah permanen dengan orientasi utama pada hakekatnya.
Sebaliknya dalam pendekatan empiris, teologi dilihat sebagai suatu
proses yang berkelanjutan dengan orientasi utama pada upaya membangun
metode.11 Metode inilah merupakan hal yang amat penting dalam berteologi.
Dengan
pemahaman seperti di atas, Lonergan hendak memperlihatkan bahwa teologi
harus tertancap di dalam konteks sejarah dan kebudayaan setempat. Hal
itu berarti bahwa para teolog atau pewarta harus memiliki horizon yang
luas seraya mengakrabkan pemahamannya terhadap bahasa dan kebudayaan
setempat,12 terhadap
kompleksitas pergumulan sosial, ekonomi dan politik, yang memang khas
dan berbeda pada setiap tempat dan waktu, sehingga pesan Injil dapat
sampai dan menjadi milik orang-orang setempat.
Penutup
Bernard
Lonergan berupaya untuk memperlihatkan bahwa sejarah dan kebudayaan
amat penting dalam berteologi. Hal itu pula yang menjadi perhatian dari
seorang teolog sekaliber Thomas Aquinas. Oleh karena itu peremehan
terhadap Aquinas karena dianggap mengabaikan sejarah, sesungguhnya tidak
benar. Teologi memang harus memperhitungkan segala dinamika historis
dan kultural agar tidak menjadi ‘tamu abadi di tempat yang didiaminya’.
1 A.
Bagus Laksana, S.J., “Teologi Dalam Jaringan, Sketsa Teologi (Katolik)
Pasca-Vatikan II”, Makalah yang dipresentasikan dalam Asosiasi Teolog
Indonesia di Wisma Syantikara, Yogyakarta, 18 Oktober 2013, hal.3.
Sebutan neo-Skolastisme itu dapat mencakup Thomisme, Scotisisme dan
Suarezianisme.
2 Perdebatan
tersebut dapat dipandang sebagai evolusi internal Thomisme, yakni
perdebatan antara para Thomis yang terbagi dalam dua kelompok: kelompok
pertama, dihidupi oleh para pemikir Nouvelle Theologie yang memberikan penekanan pada dimensi historis dengan melakukan ad fontes pada
pemikiran patristik dan biblis. Kelompok berikutnya adalah para pemikir
Anglo-Amerika yang berupaya mengembangan pemikiran Aquinas dengan
mengadopsi metode analitis British abad XX yang cenderung mengabaikan
dimensi historis. Tracy Rowland mengulas hal tersebut secara lebih
komprehensif dalam Culture and the Thomist Tradition, After Vatican II,
Routledge, London and New York, 2003. Lonergan tidak termasuk dalam
kedua kategori itu, meskipun dalam arti tertentu yang dapat
diperdebatkan, dia disebut sebagai seorang Thomis dengan kategori baru
yakni Thomis Trensendental.
3 Misalnya, gaudium et spes yang secara keseluruhan peduli dengan topik mengenai kebudayaan namun penuh kompromi; dalam gravissimum educationis ( 6 dan 8) di mana pendidikan dipandang sebagai suatu bentuk pemajuan budaya; dalam ad gentes (15,
16, 21 dan 26) diberi nasehat bahwa orang-orang yang dipersipkan untuk
tugas misioner harus sanggup belajar dari budaya setempat dan bahwa
orang-orang katolik harus dapat bekerjasama dengan orang-orang
non-katolik dalam proyek-proyek kebudayaan; dignitatis humanae (15)
memperlihatkan kenyataan sosiologis bahwa orang-orang dari latar
belakang kebudyaan yang berbeda, kini hidup berdampingan secara
geografis; perfectae caristatis (3)
berbicara mengenai pengadaptasian cara hidup, doa dan karya dengan
kebudayaan setempat serta pendidikan kaum religius seturut perkembangan
zaman (8). Lih. Tracy Rowland, Op.Cit., hal. 172
4Semasa
hidupnya Aquinas sudah terlibat dalam pusaran perdebatan yang
memperlihatkan pendiriannya. J-P. Torrell, OP., membahas hal ini secara
detail dalam karya seminalnya, Saint Thomas Aquinas , vol. 1., The Person and His Works,
The Catholic Univesity of America Press, Washington, D.C. 2005,
terutama pada bab 5 dan bab 10. Bdk. Bab 2 dan bab 8 pada J.A. Weishaple
O.P., Friar Thomas D’Aquino, His Life, Thought & Works,
The Catholic Univesity Press, Washington D.C., 1983. Pada masa sesudah
kematiannya perdebatan itu terus berlanjut. Lih. J.A. Weisheipl O.P. Ibid. hal.331-350.
5 Lonergan, Verbum: Word and Idea in Aquinas, University of Toronto Press, Toronto, 2005, hal. 68
6 Lonergan, Second Collection, The Westminster Press, Philadelphia, 1974, hal. 43-53
7 Lonergan, Third Collection, Paulist Press, New York, 1985, hal.34-54
8 Kuliah yang diberikan oleh Lonergan pada Trinity College, University of Toronto, pada tanggal 13 November 1973 ini muat dalam Method: Journal of Lonergan Studies 16 (1)., 1998, hal. 5-24
9 Kuliah yang diberikan oleh Lonergan pada Trinity College, University of Toronto, pada tanggal 15 November 1973 ini muat dalam Method: Journal of Lonergan Studies 16 (2)., 1998, hal. 83-101
11 Bernard Lonergan, Method in Theology, Herder and Herder, New York, 1972, hal. xi
12 Ibid.363
No comments:
Post a Comment