Tuesday, 17 October 2017

Nouvelle Théologie [Sengketa Teologis Menuju Konsili Vatikan II]




Abstract. Nouvelle théologie has been considering as a movement to reform Catholic theology. The consideration, in one way or another, is still controversial as some of its theologians denied that there was anything “new” in their theology, even denied that they all shared the same ideas. However, as a “group” they were eager to present the richness of their faith to a secularized world in need of Christ in such a way that the legitimate exigencies of modern thought could be satisfied by it. They considered the Modernism that rocked the Church at the beginning of the century had failed to give exigencies of modern thought their proper and balanced expression. Nontheless, the exigencies themselves were legitimate and the neo-Thomism that the Church had promoted against the Modernism fail to meet them. Nouvelle théologie as a progressive theological movement finally have managed to secure its legacy by means of Vatican II (1962-1965).

 Key words: Nouvelle théologie, Magisterium, Modernisme, neo-Thomisme, Vatikan II

Pendahuluan
Konsili Vatikan II, pada batas tertentu, merupakan reformasi terkini paling menentukan bagi Gereja Katolik. Konsili yang dipanggil lebih dari limapuluh tahun lalu itu lahir dari suatu proses yang tidak mudah. Pergulatan sosial, politis, ekonomis, kultural dan teologis berdiri di belakang reformasi tersebut.1 Terkait dengan pergulatan teologis, yang menjadi pokok ulasan di dalam artikel ini, kami memberikan fokus pada gerakan teologis yang secara umum dikenal dengan sebutan nouvelle théologie. Istilah nouvelle théologie agak sulit untuk diberi batasan secara ketat karena di satu sisi istilah ini dipandang sebagai kumpulan konseptual yang merujuk kepada gerakan dalam teologi Katolik pada awal hingga pertengahan abad ke-20 yang dimotori oleh beberapa pemikir Dominikan seperti Marie-Dominique Chenu, Yves Congar dan Henri-Marie Féret dan pemikir-pemikir Jesuit seperti Henri Bouillard, Henri de Lubac dan Jean Daniélou. Di sisi lain, para pemikir itu sendiri tidak tertarik dihubungkan dengan gerakan tersebut. Istilah inipun tetap dipertahankan dalam historiografi teologis hingga saat ini untuk tetap menggubris inti-patih dari gerakan tersebut yang mulai dan terpusat di wilayah berbahasa Prancis yakni di Prancis dan Belgium. Walaupun demikian, tetap diakui terjemahannya dalam bahasa lain (Mattepenningen, 2010: 8; Boersma, 2009:8-9) 
Gerakan teologis ini lahir sebagai reaksi terhadap dominasi pemikiran neo-Skolastik dalam Gereja Katolik, terutama dalam kurun waktu akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, yang dianggap menciptakan jarak bagi teologi terhadap peri kehidupan. Reaksi ini mendulang pro dan kontra namun di kemudian hari memberi insight berharga bagi “pembaharuan” yang dilancarkan dalam Konsili Vatikan II. Secara umum dapat dikatakan bahwa gerakan tersebut berupaya untuk mengembalikan orientasi teologis kepada arah yang benar dengan merujuk kepada khazana iman yang ada di dalam Kitab Suci, Tradisi, ajaran Patristik dan Medieval. Hal tersebut yang hendak dipaparkan di dalam tulisan ini. Tulisan ini terdiri dari empat bagian, yakni pada bagian pertama disajikan latar belakang untuk melihat drive utama gerakan; pada bagian kedua dipaparkan secara garis besar denyut utama gerakan; pada bagian ketiga dipaparkan benturan konseptual gerakan ini dengan otoritas Gereja; dan pada bagian akhir diperlihatkan “buah” dari benturan tersebut bagi reformasi dalam Gereja Katolik.

 1. Untuk mendapat gambaran mengenai latarbelakang tersebut, buku yang ditulis oleh C.J.T. Talar cs., Roman Catholic Modernists Confront the Great War, Palgrave, New York, 2015, cukup membantu terutama terkait dengn upaya pembaharuan intelektual dan struktural dalam Gereja Katolik. Selain itu, latarbelakang sosial, politis dan kehidupan beriman serta kebudayaan yang terjadi pada abad sebelumnya yang secara signifikan mempengaruhi gerakan ini disajikan dengan baik di dalam buku Owen Chadwick, The Popes and European Revolution, Oxford University Press, New York, 1981, terutama pada halaman 538-566. Penulis yang sama ini juga memberikan gambaran yang cukup baik tentang sekularisasi pada abad ke-19 yang memberi dampak bagi “langgam” teologi yang berkembang sesudahnya dalam Owen Chadwick, The Secularization of the Europen Mind in the Nineteenth Century, Cambridge University Press, UK, 2000, di mana persoalan sosial dapat dilihat pada bab ke-5 sedang persoalan intelektual pada bab ke-7 dan ke-8.

No comments:

Post a Comment

SKANDAL SALIB

SKANDAL SALIB  Bagaimana Salib  Mengusik para Pemikir Uji lakmus merupakan sebuah indikator yang amat sederhana dalam memperlihatk...