SKANDAL SALIB
Bagaimana Salib Mengusik para Pemikir
Uji lakmus merupakan sebuah indikator yang amat sederhana dalam memperlihatkan pemunculan kimiawi zat asam atau basa dari suatu substansi. Istilah ‘uji lakmus’ pada gilirannya diterapkan sebagai sebuah metafora yang agak dualistik dalam menakar apakah sesuatu itu tulen atau tidak. Uji lakmus dalam menakar teologi-teologi modern adalah dengan mengajukan pertanyaan: “apa itu teologi salib?” yang dikembangkan oleh seorang pemikir.
Semenjak era pencerahan modern, dengan tekanan kuat pada argumen rasional serta bukti rasional terhadap apa yang benar, uji lakmus salib dapat selalu dikemukakan untuk memperlihatkan apakah seorang pengarang tertentu memberikan ruang bagi skandal salib di dalam pemikirannya, di dalam upayanya mengekplorasi iman, di dalam membahas semua data kitab suci secara menyeluruh, termasuk bagian yang memalukan dari salib, di dalam sistem teologisnya.
Khususnya para teolog dari aliran “Teologi Baru,” yang menggunakan para filsuf modern (Kant, Hegel, dan Heidegger) dan pertanyaan-pertanyaan filosofis mereka untuk memikirkan implikasi-implikasi iman di dalam dunia modern, kerap kali mendapat tantangan dengan uji lakmus mengenai posisi salib di dalam sistem mereka. Proyek teologis Karl Rahner, misalnya, kerap diperhadapkan dengan uji lakmus salib.
Terutama selama abad ke-19 yang memiliki keyakinan optimistk yang kuat bahwa kemajuan manusia – melalui riset ilmu pengetahuan, pemajuan ekonomi, evolusi sosial historis, filsafat kontemporer dan teknologi mutakhir – memberi dorongan yang lebih kuat bagi kemajuan dalam pencapaian visi ideal Alkitabiah perihal Kerajaan Allah, maka kaum humanist yang progresif tampaknya menjadi tokoh panutan dan juru pandu pada masa itu. Suara gazal orang semisal Søren Kierkegaad dan Rudolf Otto, tampaknya terlalu gampang dianggap sebagai suara sampingan. Sepertinya, mereka boleh diabaikan karena mereka merupakan segelintir pemikir yang aneh ketimbang solid.
Hanya pecah Perang Dunia Pertama dan gema “Nien” (Tidak) dari Karl Barth kepada kubu rasionalisme progresif mencuatkan taksiran alternatif serta memperkenalkan sebuah dosis yang pahit atas kekuatan real dosa yang berdaya mengebas akal bulus bagi kesadaran dan keyakinan diri manusia. Para teolog dialektis pewahyuan bersikukuh perihal Allah dan lebih lagi perihal salib, bukan saja sebagai yang menjungkir-benarkan pemikiran progresif, tetapi demi mempertahankan pewahyuan Allah pada pemahaman proyek manusia dari sebuah sudut pandang Allah. Baik Hans Urs von Balthasar maupun Hans Kung dalam studi doktoralnya berupaya menyelami nilai dan kebenaran dari dialektika Karl Barth bagi teologi.
Walaupun kita adalah suatu generasi yang jauh dari debat dialektis abad ke-20, namun sampai kini pokok fundamental itu masih ada. Kesulitan dalam menyelaraskan iman dan kebijaksanaan yang masuk akal, tampaknya merupakan sebuah masalah yang tidak selesai, dan uji lakmus salib masih tampak menonjol.
Paulus, sejak semula, mengedepankan gambaran dari konflik yang menantang pernyataan-pernyataan orang Yahudi mengenai ketepilihan mereka, penyaataan orang Yunani mengenai keunggulan kebijaksanaan mereka, dan pernyataannya sendiri tentang salib Yesus Kristus. Yesus yang tersalib: sebuah skandal yang jahat bagi orang-orang Yahudi dan kebodohan bagi orang-orang Yunani, tetapi “bagi kita semua yang sedang berziarah kepada keselamatan, baik Yahudi maupun non-Yahudi,” merupakan kekuatan dan kebijaksanaan Allah.
Justru para pemikir post-modernlah yang memperlunakkan ketegaran rasionalisme modern dan keyakinan yang gencar, dan hampir monolitik, akan perkembangan – paling kurang pada suatu tingkatan yang cukup untuk menciptakan ruang di dalam budi orang-orang post-modern akan sebuah tempat misterius bagi gema dari hal yang gazal dan bersifat mengelak, hal yang tidak rasional, hal yang lebih dari masuk akal.
Salib masih mengusik para pemikir – sebagaimana ia mengusik Paulus dari Tarsus, di dalam kepiawaian intelektualnya (Rm1:16). Budi manusia itu sendiri, pada setiap kita, merupakan medan laga di mana terjadi gejolak tarik dan dorong antara pemikiran dan iman yang berselisih dan saling menyerang. Kemenangan dalam bahasa Paulus, adalah memiliki pemikiran Kristus (IKor 2:16) yang hanya datang melalui transformasi (Rm 12:2): “Berubahlah menurut pembaharuan budimu.” Transformasi personal Paulus dari budinya sendiri kepada budi Kristus yang kiranya bukan merupakan hasil dari telaah yang terus menerus di dalam dialektika filsafat, yang dikembangkan karena membaca Seneca, Epiktetus, atau Plato. ‘Pengetahuan berdasarkan daging’ akan makna salib Yesus memberikan kepada Paulus jalan kepada ‘Pengetahuan berdasarkan roh’ (Rm 8:5, 27), jauh sebelum Paulus mulai menulis surat-suratnya serta merumuskan kotbah-khotbahnya. Salib begitu mengusik Paulus sehingga ia membenam pemikirannya secara lebih mendalam, dan menembus makna salib Yesus dari cara Allah sendiri memahaminya (IKor 1:30). Demikianlah Paulus sendiri justru menjadi baru di dalam hati dan budi.
Salib Yesus, akhirnya, bukan merupakan sebuah simbol religius yang masuk akal. Pesannya tidak akan menjadi sebuah salvo psikologis atau sebuah sofisme yang tinggi. Sebuah ziarah iman berdasarkan upaya “berdoa di dalam Roh Kudus” (Judas 20) dibutuhkan untuk mencerap apresiasi esksitensial dan spiritual dari budi Allah tentang Salib.